Ia berharap temuannya, mesin Kelowong, bisa meningkatkan produksi batik di Indonesia tanpa meninggalkan pakem-pakem batik itu sendiri. Saya dan anak-anak berdiri sendiri, mulai dari modal hingga mencari pasar lewat mulut, media sosial, dan pameran-pameran.”
BATIK merupakan warisan budaya asal Indonesia yang telah diakui dunia. Sayang nya, pengakuan itu sedikit berjalan terbalik dengan perkembangan batik di Tanah Air yang cenderung statis alias jalan di tempat. Salah satu penyebabnya ialah mahalnya biaya produksi dan lamanya waktu pembuatan.
“Kendala para pembatik itu ada di desainer pembuat gambar dan pecantingnya. Membuat batik tulis bisa menghabiskan waktu bermingguminggu, bahkan berbulan-bulan,“ kata Agus Martoyo ketika ditemui Media Indonesia di kediamannya di bilangan Bekasi, Jawa Barat, Senin (20/1).
Lamanya proses tersebut membuat harga kain batik tulis kian mahal. Untuk mengatasi kendala klasik tersebut, Agus pun berinovasi dengan membuat mesin batik hasil perpaduan perangkat komputer desain grafis dengan teknik menjahit tradisional.
Secara sederhana, ia menjelaskan, proses membatik dengan mesin computer numerical control (CNC) ibarat mencetak gambar dengan memakai printer. Dengan komputerisasi itu, Agus meninggalkan cara konvensional membatik.
Fungsi mesin batik tersebut, ujar ayah dua anak itu, untuk menggambar pola dengan lilin cair secara langsung. Sebelumnya, pola batik digambar melalui komputer. Lalu, dengan peranti lunak yang bisa mengubah gambar menjadi kode, pola batik dicetak oleh mesin bernama Kelowong itu. Pola batik tulis yang diperintahkan komputer ke mesin lalu dipindahkan ke kain berukuran 2,5 x 1,2 meter. Proses penumpahan desain dari komputer ke kain tersebut dapat memangkas waktu tanpa mereduksi kualitas batik.
“Kalau desain polanya sederhana, hanya memakan waktu 2 jam. Kalau rumit, bisa 4 jam,“ ujarnya.
Pembuatan pola dasar batik menggunakan canting yang berisi lilin pada Kelowong bisa tembus depanbelakang. Kemudian, pola batik siap dilanjutkan dengan pengerjaan isenisen atau mengisi pola dengan cairan lilin (malam).
“Jadi, untuk proses detail seperti gambar dan pewarnaan tetap memakai tangan manusia. Saya juga ingin masyarakat berpartisipasi membudidayakan batik,“ kata guru SMK 4 Jakarta itu. Pada proses tersebut, Agus melibatkan ibu rumah tangga di sekitar lingkungannya. “Proses mengajari mereka ini yang cukup sulit karena mereka sebelumnya tak tahu apa-apa soal membatik.“
Temuan Agus ini mendapat pujian dari banyak pihak, termasuk pemerintah. Bahkan, berkat inovasinya itu, ia sering diganjar pelbagai penghargaan hingga di tingkat nasional. Tak jarang ia diajak oleh instansi pemerintah untuk menggelar pameran. “Namun, hanya sebatas kekaguman di pameran. Tak ada tindak lanjut untuk mendalaminya,“ ujarnya sembari meneguk kopi.
Kegigihan pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, itu untuk memasyarakatkan batik pun tidak pupus.
Meski begitu, perjalanan Agus untuk memasyarakatkan Kelowong tak mulus. Ia juga menghadapi kritik dari segelintir masyarakat. Ia dituding merusak pakem pembuatan pola batik dengan tangan. “Padahal, seni membatik tulis tak hilang meski dibantu mesin. Ada tangan manusia yang terlibat. Saya hanya ingin, lewat inovasi ini, batik semakin menggeliat,“ tegasnya, seraya mengatakan satu mesin mampu menghasilkan hingga 12 helai kain batik.
Kecewa Sejak menemukan mesin batik Kelowong pada 2011, Agus diganjar banyak penghargaan. Namun, alih-alih senang dan bangga, ia malah muram karena kecewa. Ia pun menceritakan alasannya.
Pada 2013, ia menyabet juara 1 teknologi tepat guna yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selain memperoleh piagam, Agus juga berhak atas uang tunai sejumlah Rp25 juta. Sayangnya, hingga kini ia belum terima.
“Dari Rp 25 juta, menjadi Rp750 ribu. Saya tidak tahu itu disunat atau diapakan. Uang itu pun diberikan berbulan-bulan berikutnya lewat orang lain. Saya sih ketawa saja. Kalau diberikan langsung, bakal saya tolak. Bahkan piagamnya pun saya tak dapat,” ujarnya sambil tertawa getir.
“Padahal, itu acara resmi yang di hadiri wakil gubernur dan diliput me dia.” Pengalamannya itu ia alami berkalikali, bahkan di tingkat nasional yang menjanjikan hadiah ratusan juta bagi para pemenangnya. Berdasarkan pengalaman itu, ia menganggap pemerintah tak pernah serius menghargai ide. Ia khawatir jika pemerintah enggan berbenah dan berkaca, kondisi tersebut akan meredupkan semangat para inovator atau peneliti di Indonesia yang memiliki jutaan ide dan inovasi.
“Cara-cara seperti itu disudahi saja karena itu sangat melukai. Ka mi para peneliti atau inovator tak menuntut materi. Namun, tolong dihargai dengan cara yang manusiawi,” ujarnya.
Padahal, keinginan Agus sederhana. Pemerintah yang punya anggaran bisa menyebarkan inovasi dia kepada perajin batik skala kecil untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Meski respons pemerintah tidak sesuai harapan, Agus tak berhenti berkarya. Ia pun rela mengeluarkan dana dari kantongnya sendiri untuk membuat batik kian mendunia. Ia juga mendorong anak kembarnya untuk mengembangkan usaha batik, yang mereka respons dengan mendirikan CV Citra Reka Teknologi yang memiliki 10 pegawai.
“Saya dan anak-anak berdiri sendiri, mulai dari modal hingga mencari pasar lewat mulut, media sosial, dan pameran-pameran,” kata dia.
Omzetnya pun lumayan. Tak kurang dari 250 helai kain batik dapat ia produksi dalam sebulan. Harganya pun bervariasi, Rp200 ribu-Rp700 ribu, termasuk produknya yang berupa baju, jas, sepatu, hingga tas perempuan. “Kalau cara tradisional, sebulan hanya 10 kain batik yang bisa diproduksi.” Agus juga membangun Pondok Batik di dekat kediamannya sebagai tempat para ibu rumah tangga belajar membatik. Pemikiran Agus tentang teknologi pembuatan batik semata-mata untuk membuat warisan budaya itu semakin mendunia.
Pasalnya, meski badan PBB UNESCO mengakui batik sebagai warisan dunia, pada praktiknya kain tradisional itu semakin terpinggirkan. Sebuah cita-cita mulia yang sayangnya didukung sebatas wacana dari pemerintah. (M-5)
Belajar dari Malaysia
PENCITRAAN, kata itu mungkin melekat pada politikus yang kerap mencerminkan citra diri yang baik di mata masyarakat. Namun, dalam tataran negara, Indonesia belum mampu mencitrakan dirinya dengan baik dalam pergaulan internasional.
Tak usah jauh-jauh menyebut negara macam Amerika Serikat, Australia, atau Inggris. Kepada Malaysia, Indonesia pun harus belajar banyak dalam hal pencitraan. Agus menceritakan pengalamannya ketika ia hendak mematenkan mesin cetaknya.
“Pemerintah Malaysia pernah menawari saya agar mau mematenkan mesin ini kepada mereka,” katanya. Jika mau menerima tawaran itu, Agus mendapatkan sejumlah kompensasi berupa gelimangan materi hingga berpindah kewarganegaraan.
“Saya bisa kaya kalau menerima tawaran itu.” Ia mengaku nyaris ter goda, tetapi rasa nasionalismenya terlalu mahal untuk dapat dibeli oleh Malaysia. Agus tak marah atas tawaran negara jiran tersebut. Sebaliknya, ia justru kagum. Alasannya, pemerintah Malaysia tidak main-main untuk mengangkat derajat mereka di dunia internasional.
Batik yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia, kata dia, dianggap Malaysia sebagai magnet untuk mengibarkan bendera negara. Bahkan, kata dia, tetangga Indonesia itu mau mempekerjakan perajin batik dari Pekalongan dengan harga mahal.
“Kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Kalau kebudayaan kita diklaim sama negara lain, kita baru berisik. Kalau tidak begitu, ya ditelantarkan saja,” ujarnya.
Pada 2013, ia lantas mematenkan mesin batiknya dengan memakai jasa konsultan. Guna mematenkan inovasinya, ia merogoh kocek Rp13 juta untuk masa 20 tahun. “Sebetulnya harganya tak segitu, tapi karena saya memakai jasa konsultan. Kalau mengurus sendiri, bisa memakan waktu lama karena birokrasi yang berbelit,” ujarnya kembali kecewa.
Agus mengaku iri dengan Malaysia yang sangat menghargai ide para inovator. Kata Agus, “Di negeri sendiri, dilirik saja tidak.” Kalau begini terus, ujar Agus, jangan berharap akan muncul ide-ide brilian dari anak bangsa. (Pol/M-5)
sumber : http://www.mediaindonesia.com/